Kening Anda berkerut ketika membaca judul di atas? Gak masalah Jurig itu artinya hantu atau setan.
Sebagai seorang penulis, ketika menemukan dan mendapatkan sebuah ide rasanya ingin segera menuliskannya meski hanya sekadar catatan kecil pada ponsel atau secarik kertas. Mungkin (eh ini mungkin ya?) itu yang menjadi alasan ketika mendapati kejujuran (sok eksis pun ) beberapa teman yang mengakui mendapatkan ide ketika sedang berada (maaf) di dalam WC.
Pernah suatu hari, saya tak sengaja membaca twit bahwa si pemilik akun sedang berada di WC. Berharap itu sebuah candaan, saya mengirim DM dan bertanya naif, “Seriusan lo?” Dia hanya menjawab retorik, “Emangnya follower gue bakalan peduli?” Saya, yang (selain kepo, tentu saja) butuh jawaban pasti, mendesaknya untuk jujur. “Untungnya buat elu apaan?” Saya tak menjawabnya.
Saya justru mencoba meneliti dan menganalisa secara ngasal bagaimana linimasa saya bergerak. Membaca tentang kebiasaan teman-teman ketika memulai ritual menulis.
Apa saja.
Meski hanya sekadar bercerita tentang tukang sayur yang lupa membelikan daging pesanan tetangga, bayinya yang mulai merangkak, keluhan supir angkot terhadap jalanan yang rusak, atau kegalauan seorang ABG setelah ditolak gebetannya.
Mereka menulis secara acak, di luar kebiasaan. Mengapa?
“Mencegah kebuntuan.”
Alasan yang masuk akal. Seorang penulis akan gelisah bila tak menuangkan ide dalam bentuk paragraf.
Sama halnya dengan pelukis yang sudah siap dengan perlengkapan lukisnya namun hanya bisa menatap kosong pada kanvas. Harus ada yang digambar. Meski hanya sebuah paku kecil yang jatuh dari meja. (ini pengalaman teman yang kemudian menjadikan si paku kecil sebagai gambar satu-satunya di kanvas. “Gue puas. Ada yang bisa gue gambar,” jawabnya dengan cengiran penuh kelegaan.
Tetap menulis adalah jurus beberapa penulis ketika merasa perasaan mereka berantakan, jumpalitan, dan gak karuan.
“The worst thing you write is better than the best thing you didn’t write.” ~ Anonim
Terus menulis. Mungkin yang membedakan adalah medianya.
Maksudnya gini lho. Kalau sedang dalam kondisi bagus, enak di hati dan enak di pikiran, serta sambil ngopi kece di cafe, mulai menulis dengan lancar mulai di blog, Twitter, Facebook, atau langsung meneruskan draft tulisan yang terbengkalai. Skripsi, misalnya. Hehehehe…
Tetapi ketika sedang dilanda rasa gak nyaman, jangan memaksakan diri untuk menuliskan sumpah serapah di media sosial mana pun. Ini sebenarnya note to self juga, karena terkadang masih kelepasan mengeluarkan uneg-uneg di hati. Itu sebabnya, saya punya blog tersembunyi dan akun twitter yang digembok.
Gunanya ya itu tadi, menumpahkan segala ganjalan di hati dan pikiran yang mumet. Ibarat sampah yang membuat selokan mampat itu gak nyaman dilihat kan, ya? Harus dibuang kan, ya? Begitu pula saat kita terkena jurig mood yang menyebalkan.
“Ah, aku paling gak bisa tetap menulis. Kudu jalan-jalan.”
Silakan. Nah, biasanya pas jalan-jalan itu menemukan ide baru. Merasa lebih segar, tercerahkan, dan semakin semangat untuk menyelesaikan tumpukan draft tulisan pada folder komputer, yes?
Jadi, ketika merasa si jurig mood ini akan datang mengganggu, mendingan kita menarik mundur untuk menenangkan diri.
Santai sejenak, membuat coretan-coretan alih-alih membuang perasaan jenuh. Berbicaralah dengan satu atau dua orang. Berbincang tentang apa saja. Terkadang ide baru akan datang dalam keadaan dan kesempatan yang tak terduga. Seperti ketika dalam (maaf lagi ya) WC itu tadi.
Ada tambahan lain?
Sumber : http://www.ruangfreelance.com/mengatasi-jurig-mood-saat-menulis
Sebagai seorang penulis, ketika menemukan dan mendapatkan sebuah ide rasanya ingin segera menuliskannya meski hanya sekadar catatan kecil pada ponsel atau secarik kertas. Mungkin (eh ini mungkin ya?) itu yang menjadi alasan ketika mendapati kejujuran (sok eksis pun ) beberapa teman yang mengakui mendapatkan ide ketika sedang berada (maaf) di dalam WC.
Pernah suatu hari, saya tak sengaja membaca twit bahwa si pemilik akun sedang berada di WC. Berharap itu sebuah candaan, saya mengirim DM dan bertanya naif, “Seriusan lo?” Dia hanya menjawab retorik, “Emangnya follower gue bakalan peduli?” Saya, yang (selain kepo, tentu saja) butuh jawaban pasti, mendesaknya untuk jujur. “Untungnya buat elu apaan?” Saya tak menjawabnya.
Saya justru mencoba meneliti dan menganalisa secara ngasal bagaimana linimasa saya bergerak. Membaca tentang kebiasaan teman-teman ketika memulai ritual menulis.
Apa saja.
Meski hanya sekadar bercerita tentang tukang sayur yang lupa membelikan daging pesanan tetangga, bayinya yang mulai merangkak, keluhan supir angkot terhadap jalanan yang rusak, atau kegalauan seorang ABG setelah ditolak gebetannya.
Mereka menulis secara acak, di luar kebiasaan. Mengapa?
“Mencegah kebuntuan.”
Alasan yang masuk akal. Seorang penulis akan gelisah bila tak menuangkan ide dalam bentuk paragraf.
Sama halnya dengan pelukis yang sudah siap dengan perlengkapan lukisnya namun hanya bisa menatap kosong pada kanvas. Harus ada yang digambar. Meski hanya sebuah paku kecil yang jatuh dari meja. (ini pengalaman teman yang kemudian menjadikan si paku kecil sebagai gambar satu-satunya di kanvas. “Gue puas. Ada yang bisa gue gambar,” jawabnya dengan cengiran penuh kelegaan.
Tetap menulis adalah jurus beberapa penulis ketika merasa perasaan mereka berantakan, jumpalitan, dan gak karuan.
“The worst thing you write is better than the best thing you didn’t write.” ~ Anonim
Terus menulis. Mungkin yang membedakan adalah medianya.
Maksudnya gini lho. Kalau sedang dalam kondisi bagus, enak di hati dan enak di pikiran, serta sambil ngopi kece di cafe, mulai menulis dengan lancar mulai di blog, Twitter, Facebook, atau langsung meneruskan draft tulisan yang terbengkalai. Skripsi, misalnya. Hehehehe…
Tetapi ketika sedang dilanda rasa gak nyaman, jangan memaksakan diri untuk menuliskan sumpah serapah di media sosial mana pun. Ini sebenarnya note to self juga, karena terkadang masih kelepasan mengeluarkan uneg-uneg di hati. Itu sebabnya, saya punya blog tersembunyi dan akun twitter yang digembok.
Gunanya ya itu tadi, menumpahkan segala ganjalan di hati dan pikiran yang mumet. Ibarat sampah yang membuat selokan mampat itu gak nyaman dilihat kan, ya? Harus dibuang kan, ya? Begitu pula saat kita terkena jurig mood yang menyebalkan.
“Ah, aku paling gak bisa tetap menulis. Kudu jalan-jalan.”
Silakan. Nah, biasanya pas jalan-jalan itu menemukan ide baru. Merasa lebih segar, tercerahkan, dan semakin semangat untuk menyelesaikan tumpukan draft tulisan pada folder komputer, yes?
Jadi, ketika merasa si jurig mood ini akan datang mengganggu, mendingan kita menarik mundur untuk menenangkan diri.
Santai sejenak, membuat coretan-coretan alih-alih membuang perasaan jenuh. Berbicaralah dengan satu atau dua orang. Berbincang tentang apa saja. Terkadang ide baru akan datang dalam keadaan dan kesempatan yang tak terduga. Seperti ketika dalam (maaf lagi ya) WC itu tadi.
Ada tambahan lain?
Sumber : http://www.ruangfreelance.com/mengatasi-jurig-mood-saat-menulis
