Wajibkah Shalat Berjamâah Menurut Ulamâ Syâfi'iah?

Bismillâh.

Secara umum, terdapat dua wajhu (pendapat) di kalangan ulama Syâfi'iah mengenai hukum shalat berjamâah bagi pria balig––yang tidak ada uzur syar'i––:

❒ Pendapat pertama, shalat berjamâah adalah fardu kifayah (kewajiban yang telah gugur atas setiap Muslim apabila sudah ada sekelompok Muslim lainnya yang mengerjakannya). Ini adalah pendapat mayoritas Ulamâ Syâfi'iah mutaqaddimin (terdahulu); dan inilah qaul(pendapat) Imâmunâ asy-Syâfi'i.

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abû Hanîfah; dan dipilih oleh mayoritas Ulamâ Hanafiah dan Mâlikiah. Al-Hâfizh Ibnu Hâjar al-Asqalani berkata,"Lahiriah nash (perkataan) asy-Syâfi'i, shalat berjamaah hukumnya adalah fardu kifayah; inilah pendapat mayoritasmutaqaddimin dari Ulamâ Syâfi'iah, serta banyak Ulamâ Hanafiah dan Mâlikiah." (Fat'h al-Bariy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, 2/26)

Sedangkan Ulamâ Hanafiah dan Mâlikiah lainnya berpendapat bahwa hukumunya adalah sunah muakadah (sunah yang sangat ditekankan), dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh asy-Syaukâni dan Shidiq Hasan Khan––dari kalangan ulamâ mutaakhirin––.

❒ Pendapat kedua, shalat berjamâah adalah fardu ain (wajib bagi setiap individu, dan berdosa apabila ditinggalkan tanpa uzur yang dibenarkan syariat) bagi laki-laki yang sudah balig, kecuali jika ada uzur. Ini adalah pendapat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbân.

Pendapat ini juga merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Abdullâh bin Mas'ûd dan Abû Mûsâ al-Asy'ari––dari kalangan sahabat Nabi ﷺ––, dan merupakan pendapat Atha', al-Auza'i, Abû Tsaur dan Ahmad bin Hanbal.

Sedangkan Ibnu Hazam azh-Zhahiri berpendapat hukumnya adalah fardu ain dan merupakan syarat sah (sehingga tidak sah apabila dikerjakan dengan tidak berjamâah tanpa uzuzr syar'i), dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islâm dan muridnya,Syamsuddîn Imâm az-Zar'i. Akan tetapi, pendapat terakhir ini disanggah oleh ulamâ lainnya, karena terdapat beberapa dalil yang sahih dan tegas mengenai sahnya shalat seseorang yang tidak berjamâah (yakni shalat sendiri), diantaranya sabda Nabi ﷺ :

وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّي وَحْدَهُ ثُمَّ يَنَامُ . . .

"..Dan orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur." (HR. al-bukhari no. 651 dan Muslim no. 662)

Pendapat manapun yang seorang Muslim condong padanya––dengan bepegang pada pendapat ulama yang ia anggap memiliki hujah (argumentasi) yang kuat berdasarkan dalil-dalil yang sah––; jika ia bisa memilihi jalan yang lebih hati-hati dan selamat (dalam perkara agamanya), maka ia kerjakanlah pendapat yang bisa membawanya keluar dari khilaf, terlebih apabila itu suatu perkara kewajiban (yang tentu lawan darinya adalah haram/terlarang), sebagaimana kaidah "Khuruj min al-Khilaf (Keluar dari Persellisahan [pendapat para ulamâ])." Wal 'ilmu 'indallâh.


KEUTAMAAN SHALAT BERJAMÂAH

(Besarnya Pahala & Menghapuskan Dosa-Dosa)


 Rasûlullâh ﷺ bersabda:
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

(Artinya), " Shalat berjamâah lebih utama––daripada shalat sendirian––sebanyak 27 derajat." (HR. al-Bukhâri)

الصَّلاَةُ فِى جَمَاعَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلاَةً فَإِذَا صَلاَّهَا فِى فَلاَةٍ فَأَتَمَّ رُكُوعَهَا وَسُجُودَهَا بَلَغَتْ خَمْسِينَ صَلاَةً

"Shalat berjamâah itu senilai dengan 25 shalat. Jika seseorang mengerjakan shalat ketika ia safar (bepergian jauh), lalu ia menyempurnakan rukuk dan sujudnya, maka shalatnya tersebut bisa mencapai pahala 50 shalat." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Faedah: Ibnu Baththal––rahimahullâh––menyatakan, "Kadang, keutamaan shalat jamâah disebutkan sebanyak 27 derajat, kadang pula disebut 25 kali lipat dan kadang juga disebut 25 bagian; ini semua menunjukkan berlipatnya pahala shalat jamâah dibanding dengan shalat sendirian dengan kelipatan sebagaimana yang disebutkan." (Syarh Shahîh al-Bukhâriy Libni Baththal, 2:271)

Rasûlullâh ﷺ bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ

"Barangsiapa berwudu untuk shalat, lalu ia menyempurnakan wudunya, kemudian ia berjalan untuk menunaikan shalat wajib, yaitu dia melaksanakan shalat bersama manusia atau bersama jamâah, atau melaksanakan shalat di masjid, maka Allâh akan mengampuni dosa-dosanya." (HR. Muslim)

صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِى الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ هِىَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِى مَجْلِسِهِ الَّذِى صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

"Shalat seseorang dalam  jamâah memiliki nilai lebih 20 sekian derajat daripada shalat seseorang di rumahnya, juga melebihi shalatnya di pasar. Oleh karenanya, jika salah seorang di antara mereka berwudu, lalu menyempurnakan wudunya, kemudian mendatangi masjid, tidaklah mendorong melakukan hal ini selain untuk melaksanakan shalat, maka salah satu langkahnya akan meninggikan derajatnya, sedangkan langkah lainnya akan menghapuskan kesalahannya. Ganjaran ini semua diperoleh sampai ia memasuki masjid. Jika ia memasuki masjid, ia berarti dalam keadaan shalat selama ia menunggu shalat. Malâikat pun akan mendoakan salah seorang di antara mereka selama ia berada di tempat shalatnya. Malâikat tersebut nantinya akan mengatakan, 'Ya Allâh, rahmatilah ia. Ya Allâh, ampunilah ia. Ya Allâh, terimalah taubatnya.' Hal ini akan berlangsung selama ia tidak menyakiti orang lain (dengan perkataan atau perbuatannya), dan selama ia dalam keadaan tidak berhadas." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

(Artinya), "Sesungguhnya orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat adalah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh (lagi). Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat kemudian tidur." (HR. Muslim no.1064)


DALIL TENTANG PERINTAH SHALAT BERJAMÂAH

1. Firman Allâh Ta'âlâ:
(Artinya), "Bertasbih kepada Allâ h di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula dilalaikan) oleh jual beli, dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. an-Nûr[24]:36–37)

(Artinya), "Katakanlah, 'Rabb-ku menyuruh menjalankan keadilan,' dan (katakanlah), 'Luruskan muka (diri)-mu di setiap shalat, dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya; sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan, (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya.' " (QS. al-A'raf[7], ayat 29)

(Artinya), "Dan, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS. al-Baqarah [2]:43)

(Artinya), "Dan, apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu; dan menyandang senjata. Kemudian, apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan 1 rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh); dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan, tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu apabila kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit. Dan, siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu." (QS. an-Nisa' [4]:102)

Faedah: Dalam ayat tersebut, Allâh memerintahkan untuk shalat berjamâah dalam keadaan sedang berperang melawan musuh dan dalam keadaan takut; maka bagaimana lagi perintah terhadap orang yang tidak dalam keadaan perang dan ketakutan?

Syamsuddîn Imâm az-Zar'i berkata, "...Ini merupakan dalil bahwa shalat jamâah hukumnya adalah fardu ain (wajib bagi setiap muslim yang tidak ada uzur); karena dalam ayat ini, Allâh tidak menggugurkan perintah-Nya kepada pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Dan seandainya shalat jamâah itu sunah, maka shalat ini tentu gugur karena ada uzur (halangan), yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jamâah itu fardu kifayah (kewajiban yang telah gugur atas setiap Muslim apabila sudah ada sekelompok Muslim lainnya yang mengerjakannya), maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jamâah hukumnya adalah fardu ain dilihat dari tiga sisi: (1) Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, (2) selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, (3) tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut." (Ash-Shalâh wa Hukmu Tarikihâhlm.110)

2. Hadis Nabi ﷺ:
(Artinya), "Kembalilah kepada keluarga kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaiamana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian berazan, dan yang paling tua menjadi imam." (HR. al-Bukhari no.595 danMuslim no.1080)

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ »

(Artinya), "Seorang buta mendatangi Nabi, dan berkata, 'Wahai Rasûlullâh, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid.' Lalu, ia meminta keringanan kepada Rasûlullâh sehingga boleh shalat di rumah; lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya, 'Apakah engkau mendengar panggilan azan shalat?' Ia menjawab, 'Ya.' Lalu beliau bersabda, 'Penuhilah (panggilan azan tersebut)!' " (HR. al-Bukhâri no. 609)

Faedah: Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar azan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan azan adalah dengan menghadiri shalat jama'ah. Ibnu Qudâmah al-Maqdisi berkata setelah menyampaikan hujah (alasan)-nya dengan hadis ini, "Jika orang buta––yang tidak memiliki orang yang mengantarnya––tidak diberi keringanan, maka selainnya lebih (diperintahkan) lagi." (Al-Mughniy, 3:6)

Hal ini ditegaskan kembali dalam hadis Ibnu Ummi Maktum:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَسْمَعُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَحَىَّ هَلاَ ».

"Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas." Nabi––shallallahu 'alaihi wasallam––bersabda,"Apakah kamu mendengar seruan azan, 'Hayya 'alash-shalah, hayya 'alalfalah?' Jika ya, penuhilah seruan azan tersebut." (HR. Abu Dawud)

Faedah: Laki-laki tersebut memiliki beberapa uzur:
  1. Ia adalah seorang yang buta
  2. Ia tidak memiliki teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani
  3. Banyak sekali tanaman, dan
  4. Banyak binatang buas. Namun, karena ia mendengar azan, ia tetap diwajibkan menghadiri shalat jama'ah. 
Walaupun mempunyai berbagai macam uzur semacam ini, Nabi––shallallâhu 'alaihi wasallam––tetap memerintahkannya untuk memenuhi panggilan azan, yaitu melaksanakan shalat jamâah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada uzur sama sekali, bahkan masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya?


DALIL ANCAMAN BAGI YANG MENINGGALKAN SHALAT BERJAMÂAH TANPA UZUR

1. Firman Allâh Ta'âlâ:

يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ (42) خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ (43

(Artinya), "Pada hari betis disingkapkan, dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan, sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru (diperintah) untuk bersujud (tetapi mereka tidak memenuhi peruntah tersebut), dan (padahal dahulu) mereka dalam keadaan sejahtera." (QS. al-Qalam:42–43)

Faedah: Syamsuddîn Imâm az-Zar'i berkata, "Sisi pendalilannya adalah, Allâh Ta'âlâ menghukum mereka pada hari kiamat dengan memberikan penghalang antara mereka dengan sujud ketika diperintahkan untuk sujud. Mereka diperintahkan sujud di dunia, dan enggan menerimanya. Jika sudah demikian, maka menjawab panggilan mendatangi masjid dengan menghadiri jama'ah shalat, bukan sekedar melaksanakannya di rumahnya saja."

2. Hadis Nabi ﷺ:

(Artinya), "Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman, yang tidak ditegakkan pada mereka shalat (berjamâah), melainkan syetan akan menguasainya. Berjamâahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian." (HR. Ahmad no. 26242, Abu Dawud no. 460 dan an-Nasai no. 738)

(Artinya), "Barang siapa yang mendengar azan lalu tidak datang (ke masjid), maka tidak ada shalat baginya, kecuali karena uzur (halangan yang dibenarkan syari'at)." (HR. Ibnu Majah no.785)

والذي نفسي بيده لقد هممت أن آمر بحطب فيحطب ثم آمر بالصلاة فيؤذن لها ثم آمر رجلا فيؤم الناس ثم أخالف إلى رجال فأحرق عليهم بيوتهم

(Artinya), "Demi Allâh, yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang berazan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjamâah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjamâah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka." (HR. Muslim no.1044)

Al-Hâfizh Ibnu Hâjar al-Asqalani asy-Syâfi'i (salah satu ulama besar Syâfi'iah), dalam menafsirkan hadis ini berkata, "Adapun hadis bab (hadis di atas), maka zhahir(lahiriah/yang tampak jelas)-nya menunjukkan, shalat berjamâah adalah fardu ain (wajib bagi setiap muslim yang tidak ada uzur); karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam orang yang meninggalkannya dengan pembakaran tersebut, juga tidak mungkin terjadi pada yang meninggalkan fardu kifayah, seperti pensyariatan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardu kifayah." (Fat'h al-Bariy Syarh Shahîh al-Bukhâriy,2:125)

Demikian juga Ibnu Daqîq al-Ied asy-Syâfi'i (salah satu ulamâ besar Syâfi'iah) berkata, "Ulama yang berpendapat bahwa shalat berjamâah hukumnya fardhu ain berhujah (berargumentasi) dengan hadis ini; karena jika dikatakan fardu kifayah (kewajiban yang telah gugur atas setiap Muslim apabila sudah ada sekelompok Muslim lainnya yang mengerjakannya), kewajiban itu telah dilaksanakan oleh Rasûlullâh dan orang yang bersamanya; dan jika dikatakan sunah, tentunya tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah. Dengan demikian, jelaslah bahwa shalat berjamâah hukumnya fardu ain (wajib bagi setiap muslim yang tidak ada uzur)." (Ihkam al-Ahkâm, 1:124)


Abdullâh bin Mas'ud––radhiyallâhu 'anhu––(seorang sahabat Nabi ﷺ) berkata:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ

"Barangsiapa yang ingin bergembira ketika berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat ini (yakni shalat jama'ah) ketika diseru untuk menghadirinya. Karena, Allah telah mensyari'atkan bagi Nabi kalian ﷺ Sunan al-Huda (petunjuk Nabi). Dan, shalat jama'ah termasuk Sunan al-Huda (petunjuk Nabi). Seandainya kalian shalat di rumah kalian, sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan shalat di rumahnya, maka ini berarti kalian telah meninggalkan Sunnah (ajaran) Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan Sunnah (ajaran) Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Imam kita yang mulia, Imâm asy-Syâfi'i––semoga Allâh merahmatinya dan memberikan sebaik-baik tempat baginya––berkata:

وأما الجماعة فلا ارخص في تركها إلا من عذر

(Artinya), "Adapun shalat berjamâah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya, kecuali bila ada uzur." (Ash-Shalah wa Hukmu Tarikihâ, hlm.107)

Semoga Allah memberikan petunjuk, taufik dan rahmat-Nya kepada siapa saja––dari kaum Muslimin––yang membaca tulisan ini. Sebelum para pembaca yang budiman––semoga Allah memberkahi Anda––menilai tulisan ini dengan penilaian yang tidak selayaknya ternisbatkan kepada kami; dan penilaian tersebut bertolak belakang dengan kefakiran kami dalam ilmu syariat, maka perlu diketahui terlebih dahulu beberapa hal berikut––semoga Allah merahmati Anda dan keluarga––:

✔ Bahwa tulisan ini pada asalnya adalah catatan pribadi kami yang diringkas dari beberapa tulisan (yang dengannya lah––dan beberapa faedah ilmiah lainnya––kami mendapatkan asupan ilmu dengan izin Allâh Ta'âlâ), sehingga tulisan ini merupakan tulisan yang sangat ringkas dan tidak terdapat parajihan (pendapat manakah yang paling kuat) di dalamnya,

✔ Tulisan (rangkuman) ini diterbitkan agar kami dapat berbagi faedah ilmiah kepada orang lain, sehingga tidaklah pantas apabila tulisan ini dianggap sebuah pembahasan ilmiah yang berdiri sendriri, serta tentunya pada tulisan ini terdapat berbagai kekurangan––yang semoga dapat dimaklumi––,

✔ Tulisan ini kami rangkum––secara umum––berdasarkan al-wajhu (pendapat) di kalangan Ulamâ Syâfi'iah; bukan karena kami membenarkan adanya taklid dan/atau taasub mazhabiah, akan tetapi karena beberapa hal yang kami berharap atasnya datanglah manfaat dan mudah diterimanya pembahasan tersebut––dengan memohon pertolongan Allâh––, serta membuka cakrawala kita agar berhati-hati dalam menilai suatu hal yang selama ini berbeda dengan apa yang kita yakni dan amalkan (karena belum tentu apa yang kita yakini dan amalkan itu adalah kebenaran secara mutlak, dan apa yang diyakini dan diamalakan oleh orang lain adalah suatu kekeliruan––karena bertolak belakang dengan pengamalan kita––secara mutlak tanpa ada perincian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang berlandaskan dalil-dalil yang sah), serta semoga dapat menambah khazanah dan faedah ilmiah kita,

✔ Kami berharap kepada siapa saja yang membaca tulisan ini––semoga Allah merahmatinya––, agar tidak bertanya dan/atau berkomentar lainnya, karena hal tersebut bukanlah tempat yang tepat. Akan tetapi, para pembaca yang budiman––semoga Allah menambahkan ilmu kepada Anda dan menjadikannya bermanfaat––dapat bertanya kepadaasatidzah yang mumpuni dalam hal ilmu dan amal––yang berpegang pada dalil-dalil yang sah––; dan justru kami berharap kepada siapa saja yang membaca tulisan ini agar melapangkan sedikit kesempatannya dalam berdoa untuk menyisipkan nama kami dalam doanya––berupa kebaikan––.

Demikianlah sedikit penjelasan dari kami. Semoga bermanfaat.

____________________________________________________

Disarikan dari beberapa tulisan: Ustadz Muhammad Abduh bin Tuasikal (www.Rumaysho.com) & Ustadz Kholid bin Syamhudi, Lc.(www.UstadzKholid.com), serta tambahan dari Shahih Fiqih Sunnah (Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim)––jazâhumullâhu khairaljazâ'––.


Bekasi, Rabu siang, 8 Zulhijah 1433 H (24 Oktober 2012 M).

Syamsuddîn Imâm az-Zar'i

Lebih baru Lebih lama